MY FAMILY

MY FAMILY
LIHAT AJA DECH...

Rabu, 27 Oktober 2010

SAINS ISLAM

MENUJU
SAINS ISLAM

Sebuah Wacana Pendahuluan


Tak terbayangkan seorang ilmuwan yang memiliki kemampuan memindahkan singgasana dalam hitungan detik. Mungkin untuk kebanyakan orang sekarang, hal tersebut lebih cocok untuk dikatakan sebagai mitos masa lalu saja, tidak lebih tidak kurang. Bahkan mungkin saja seorang muslimpun akan juga berpendapat sama, walau informasi tersebut eksplisit dinyatakan dalam Al Qur’an (Qs 27:38-40).

Ayat tersebut menceritakan mengenai sayembara yang diadakan oleh nabi Sulaiman as untuk menundukkan kerajaan yang dipimpin Ratu Balqis tanpa perang. Orang yang dapat memenuhi permintaan nabi tersebut adalah orang yang diberi Allah ilmu dari kitab. Saingan terdekat dari ilmuwan tersebut adalah dari kalangan jin, yaitu salah satu tokoh utamanya, ia menyanggupi memenuhi permintaan nabi dalam tempo yang lebih lama, yaitu sebelum nabi berdiri dari tempat duduknya.

Apakah sang ilmuwan tersebut dapat dikatakan sebagai figur yang telah memiliki sains Islam, sehingga ilmu yang dimilikinya merepresentasikan nilai Islam? Semua dikembalikan kepada bagaimana kita mengartikan sains Islam tersebut tentunya.

Dari tinjauan terminologi yang digunakan, kata ilmu digunakan untuk menyatakan ajaran yang disampaikan dan ditinggalkan bagi ummat Islam oleh Rasulullah saw. Bahwa pewaris nabipun disebut dengan sebutan ulama, yang arti harfiahnya adalah ilmuwan. Jadi dari sisi ini sebenarnya jelas bahwa Islam adalah identik dengan ajaran tentang ilmu, atau Islam itu sendiri adalah ilmu. Hanya saja kemudian yang menjadikan semua rancu adalah mengenai apakah ilmu yang dimaksudkan dalam terminologi tersebut dapat dipersamakan dengan pengertian ilmu yang umum digunakan ?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut disadari juga kesulitan membicarakan ilmu pengetahuan agama dari cara pandang ilmu umum karena sudah ada asumsi yang sangat kuat bahwa dasar-dasar agama terlanjur dianggap tidak rasional. Dan provokasi ini terlanjur pula mempengaruhi sebagian ummat Islam sehingga menjadikan mereka terbelah jiwanya antara satu pihak berilmu pengetahuan dan di pihak lain beragama. Ada kepercayaan bahwa dua hal tersebut terpisah. Walau ada pendapat-pendapat yang mencoba untuk mencari titik temunya, namun semua terlihat sekedar kesimpulan sementara, ‘basa-basi ilmiah’ saja, karena tidak didasari oleh epistemologi yang kuat.

Kata Islam ditujukan dalam banyak arti, dalam banyak konteks. Dalam perspektif hukum, Islam berarti seperangkat aturan yang bersumberkan dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Dalam perspektif filsafat, yang dimaksudkan dengan pemikiran Islam sebenarnya adalah pemikiran filsafat yang dinyatakan oleh para filsuf muslim. Mistikus muslim mengartikan Islam sebagai jalan thariqah yang dipegang oleh para sufi. Semua pemikiran tersebut didominasi oleh pemikiran yang dihasilkan dari elaborasi ayat-ayat kauliah. Pemikiran tersebut kurang memperhatikan ayat-ayat kauniah, atau bahkan cenderung mengabaikannya. Dalam perspektif sains sebaiknya kata Islam ditujukan tidak hanya kepada ayat kauliah saja tetapi juga kepada ayat kauniah. Ayat kauliah adalah Al Qur’an, beserta sunnah sebagai terjemahannya. Ayat kauniah adalah realitas.

Selama ini kedua sumber tersebut dikaji secara terpisah. Sains umum memfokuskan kajiannya hanya pada ayat-ayat kauniah saja. Sedangkan ilmu-ilmu keislaman masih menfokuskan pada ayat-ayat kauliah dalam kajian-kajian hukum, sejarah, bahasa, akhlak, yang diambil. Namun tidak jarang kajian ilmu-ilmu Islam sebenarnya bukan lagi elaborasi langsung ayat kauliah, tetapi sudah bergeser kepada kajian mengenai pemikiran tokoh tentangnya. Tidak heran kalau pelajaran yang ditemui sekarang di lembaga pendidikan Islam adalah buku-buku abad pertengahan, masa para pemikir muslim secara genial melakukan elaborasi langsung ayat kauliah. Sebagian lagi adalah pustaka yang berisi komentar dari tulisan tokoh-tokoh. Dengan latar belakang keadaan seperti ini, bila kemudian akan dilakukan pembahasan mengenai sains Islam, wajar akan muncul pertanyaan, apakah dasar pemikiran sains Islam itu?

Pertanyaan ini tampaknya tak kunjung dijawab. Jalan pintas yang diambil kemudian adalah menyatukan, secara kuantitatif, semua pelajaran. Lalu saintis Islam yang dihasilkan adalah sarjana yang belajar sains umum dengan tambahan pengetahuan dasar-dasar agama Islam. Seorang ahli fisika muslim adalah seorang yang lulus sarjana pada disiplin fisika dan tahu fikih secara garis besar, hafal beberapa ayat Al Qur’an dan hadits, bisa sedikit berbahasa Arab dan seterusnya. Atau alternatif kedua yang mungkin adalah, ayat kauniah dibaca dalam perspektif yang ada. Tanpa adanya upaya yang memadai untuk menyusun terlebih dahulu metodologi yang memenuhi syarat, apalagi dengan penguatan fundamen epistemologi, hasil yang tampak adalah penyimpulan-penyimpulan yang sangat lemah bobot ilmiahnya, terkesan terjadi pemaksaan di sana sini.

Namun sebenarnya adalah suatu ketidakmungkinan metodologis kalau sains akan dibangun dari perspektif luar sains, karena hal tersebut mustahil. Wajar kalau kemudian ada yang melihat ketidakadaan akses secara metodologis dan langsung dengan tegas menyatakan tidak adanya sains Islam.


Al Qur’an Blue Print Realitas
Pernyataan Lukman Soemabrata mengenai kedudukan Al Qur’an sebagai blue print realitas semesta adalah titik berangkat epistemologi yang tepat untuk dijadikan fundamen sains Islam. Al Qur’an dilihat dalam genuinitasnya yang trans historis. Awal berangkat ini adalah jawaban, titik temu ontologis dua ayat, kauniah dan kauliah, yang memungkinkan kita untuk melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu refleksi atas keduanya sekaligus dalam satu kerangka metodologis.

Pemahaman Al Qur’an secara historis, walau sama sekali tidak salah namun sudah tentu tidak lengkap. Diterimanya pernyataan bahwa kitab dituliskan 2000 tahun sebelum Allah menciptakan segala sesuatu1), sudah dengan sendirinya mengisyaratkan hal tersebut. Bandingkan kalau Al Qur’an hanya dimengerti dalam arti historis, yaitu sebagai wahyu yang diturunkan melalui Jibril as kepada Rasulullah. Sulit diketahui dengan pasti hubungan antara dua ayat, kauliah dan kauniah. Kemudian Al Qur’an pun dipahami sebagaimana yang tertulis dalam redaksi verbal bahasa manusia saja. Padahal sama dimaklumi bahwa proses transliterasi ayat ke bahasa verbal manusia adalah tahap terakhir dari keseluruhan proses turunnya wahyu.

Implikasi dari asumsi dasar keterhubungan ayat-ayat, menjadi jelas kedudukan sains dalam keseluruhan tatanan ilmu-ilmu Islam. Dan dengan posisi sentralnya, sebagai blue print, mempelajari ayat kauniah dimungkinkan melalui elaborasi ayat kauliah dan sebaliknya. Dalam posisinya tersebut arti blue print juga sekaligus berarti sebagai soft ware, dalam bahasa cyber space, ayat kauliah mempunyai konotasi akses fungsi herstrukturatif. Hal tersebut dapat dengan terang diperhatikan dalam ayat 31 dari surat ke 13, yaitu bahwa “gunung-gunung dapat digoncangkan, bumi dapat dibelah dan orang mati dapat berbicara” melalui Al Qur’an.

Kesimpulan ini tentu tidak bisa berhenti hanya sebagai wacana belaka. Atau ia akan bernasib sama dengan konsep lain, hanya tinggal menjadi konsep yang tak pernah terbuktikan. Beberapa peristiwa telah dengan jelas menunjukkan hal tersebut.

Karakter Dasar Obyek
Dikatakan bahwa seluruh ketentuan Allah bersifat tetap dan tidak akan pernah berubah. Ketentuan tersebut adalah hukum alam atau sunnatullah yang mengatur hubungan antara sesama makhluk ciptaanNya. Dengan menggunakan logika yang sangat sederhana sebenarnya pengertian ini sudah dengan sendirinya menyatakan bahwa firman Allah dalam kitab itu sendirilah yang adalah ketentuan-ketentuan sunnatullah. Akankah kita akan mengartikan kata kitab tersebut hanya sebatas redaksi verbal yang dituliskan, yaitu sebagaimana dituliskan oleh para sahabat nabi setelah turunnya wahyu? Kalaulah demikian, bagaimana dengan maksud ayat pada Qs 27 ayat 39 tentang orang yang diberi ilmu dari kitab tersebut? Padahal pada jaman tersebut kitab, yaitu Al Qur’an historis, belum ada.

Al Qur’an dalam genuinitasnya, yaitu sejatinya kitab, mengawali semua proses penciptaan, sebagai blue printnya. Mempelajari kitab adalah sama dengan mempelajari semua realitas makhluk ciptaanNya, realitas semesta itu sendiri.

Sebagai materi awal pembentuk, arkhe setiap entitas dikembalikan kepada bentuk aslinya yang immaterial. Bahan awal yang immaterial tersebut kemudian memadat dalam proses dalam ruang dan waktu yang sangat panjang menurut gen entitasnya masing-masing. Bila saja manusia dapat memahami gen entitasnya, sekaligus dengan setting ruang waktu yang melekat padanya, maka manusia akan mampu mengembalikannya ke bentuk aslinya yang murni immaterial. Untuk sementara waktu, penjelasan ini bisa dianggap menjelaskan proses yang terjadi pada riwayat yang dinyatakan dalam ayat Qs 27 di atas.

Petunjuk yang dapat dianggap mengarah pada arti immaterial tersebut salah satunya adalah teori relitivitas dari Albert Einstein. Rumus e = mc2 dengan jelas menerangkan karakter dasar materi sebenarnya hanyalah energi belaka. Bahwa kecepatan cahaya yang dikwardatkan menjelaskan keterkaitan yang inhenren antara materi, ruang dan waktu. Namun konsep ruang dan waktu yang dikenal umum bersifat lebih sebagai setting yang lepas dari eksistensi material obyek. Dengan teori relatifitas dari Einstein, konsep ruang dan waktu yang dinyatakan Isaac Newton direvisi. Namun ruang dan waktu fisikawi masih bersifat eksternal. Ruang adalah ruang yang secara empiris berada di luar manusia, dan perhitungan waktu dikaitkan dengan pergerakkan bumi terhadap matahari, yaitu waktu kronologis. Belum jelas pengertian lagi apakah ada konsep lain tentang ruang dan waktu dari yang sudah ada sekarang. Namun ada kemungkinan ruang dan waktu lebih bersifat internal. Kalaulah ruang dan waktu masih menggunakan konsep eksternal, maka sulit untuk bisa memahami peristiwa kecepatan proses perpindahan singgasana pada peristiwa yang disampaikan ayat 27: 39 tersebut. Peristiwa isra mi’raj Rasulullah pun sulit dimengerti dengan konsep ini. Atau kita akan percaya bahwa Rasulullah berusia tidak 63 tahun, saat beliau wafat, karena ia telah masuk pada dimensi malakut yang perbandingan waktunya dengan waktu bumi adalah 1 banding 50.000 tahun, 1 hari di dimensi malakut sama dengan 50.000 tahun di bumi (Qs 70:4).

Bila berpatokan semata pada sains umum, pengenalan terhadap waktu internal tidak dimungkinkan karena awal berangkat yang sejak awal sudah cacat secara epistemologis, bahwa realitas selalu diartikan pisik, dan itu memungkinkan keterarahan pengamatan hanya pada obyek-obyek eksternal. Satuan waktupun karenanya, hanya dibatasi pada perhitungan kronologis peredaran bumi terhadap matahari. Sedangkan dalam Islam, realitas eksternal adalah bagian terkecil dari keseluruhan tatanan eksistensial realitas dimana manusia berada pada posisi sentralnya. Untuk itu, untuk bisa masuk ke dalam ilmu keislaman, beberapa prinsip dasar epistemologis perlu dirombak dan ditata ulang. Indikasi yang diisyaratkan dalam Al Qur’an dapat dilihat dari surat manusia, yaitu Al Insan, surat ke 76, yang juga diberi nama lain, yaitu Ad Dahri, yang menunjuk pada konteks waktu. Henry Bergson, seorang filsuf berkebangsaan Perancis juga menyatakan bahwa manusia adalah waktu, duringness. Alexis Carrel pun kemudian memaparkan keberadaan waktu internal dengan mengajukan perhitungan waktu dengan menggunakan satuan yang dirujuk dari proses metabolisme tubuh manusia.2) Dalam banyak pustaka tasawuf, perihal waktu cukup menjadi bahan kajian, dan tidak hanya diartikan dalam satu dimensi, yaitu eksternal, namun sekaligus juga internal. Waktu internalpun diartikan dengan beberapa makna yang terkait dengan perolehan pengetahuan, terutama ma’rifatullah. Perhatikan juga ayat ke 7 dalam surat ke 30, Ar Ruum, pengetahuan tentang hal yang lahir dikonfrontir dengan dimensi waktu akhirat.

Lebih jauh lagi dalam sains Islam, pengetahuan mengenai karakter dasar ayat-ayat masih memungkinkan seseorang untuk melakukan rekayasa terhadapnya secara langsung. Maka dalam sains Islam, memproduksi intrumen teknologi ditempatkan pada posisi yang tidak terlalu dipentingkan. Yang diprioritas adalah pengetahuan mengenai kualitas-kualitas, terutama kualitas diri sebagai ummat yang berketuhanan yang mengemban amanah sebagai khalifatullah fil ardl, juga kualitas setiap benda dan peristiwa. Karenanya sains Islam menduduki posisi kedua bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu humaniora. Hanya saja logika berpikir sainstis ini yang justru menjadi menjadi penting untuk masuk pada taraf ilmu-ilmu humaniora yang metodologinya relatif lebih kompleks. Apakah metodologi sains Islam ini mendapat signifikansinya dari ayat ke 7 surat ke 3, surat Ali Imran?

Hubungan Subyek-Obyek
Agama Islam menetapkan orientasi akhir pencapaian pengenalan intelektual manusia hingga kepada Allah. Allah adalah Al Haq, Sang Kebenaran yang secara naluriah manusia selalu mencarinya. Sang Kebenaran sekaligus juga sebagai orientasi akhir dari semua proses aktivitas ilmiah. Namun disadari sepenuhnya bahwa tidak ada yang bisa mencapaiNya dalam arti yang sesungguhnya, maka arti dari orientasi akhir tersebut adalah sebagai arah untuk pencapaian nilai tertinggi, yaitu proses pemenuhan diri akan nilai-nilai ilahiah. Secara eksistensial ini berari sebagai aktualisasi potensi ilahiah yang diberikan saat awal penciptaan manusia, yang disebutkan dengan pemberian ruhNya. Pada surat ke 29 ayat ke 15 disebutkan proses peniupan ruhNya kepada Adam.

Aktualisasi seluruh potensi Ilahiah inilah yang disebutkan sebagai pencerdasan potensi spiritual manusia, karenanya ilmu-ilmu Islam tidak akan berhenti pada kajian pada ilmu-ilmu diskursif yang merupakan pola paling dominan pada ilmu-ilmu umum, yang membawa manusia mampu mengenal relasi segala sesuatu dalam dalam satu sistem yang integral. Juga tidak berhenti pada pencerdasan emosional, saat dimana manusia dapat menemukan arti penting kebersamaan dan keragaman sosial dan hubungan simbiosisnya dengan lingkungan. Pencerdasan emosional sudah menyadarkan manusia akan dirinya yang hanya sebagai sebuah titik dalam seluruh gerak sejarah manusia dan alam. Pencerdasan spiritual adalah adalah proses pembelajaran untuk membangun potensi diri dan membawanya pada arah tujuan yang tepat. Saat dimana eksistensi manusia mendapat predikatnya. Disini bukanlah esensi manusia kemudian mengisi eksistensinya sebagaimana para eksistensialis. yang rata-rata tidak mempercayai agama, mengatakannya. Bahwa nilai esensial sudahlah mendahului eksistentensinya, hanya saja pilihan hidupnyalah yang menjadikan seluruh nilai “menjadi”, dalam istilah Erich Fromm, dalam diri manusia. Dan manusia memperoleh pemenuhan diri dalam nilai yang diperjuangkannya tersebut. Seorang ilmuwan adalah seseorang yang ilmunya hidup dalam diri dan yang menjadikannya demikian. Seorang dermawan adalah seseorang yang spirit dirinya adalah kedermawanan. Disini manusia mendapatkan individuasi nilai sesuai dengan tujuan hidup yang dijalani dan diperjuangkannya hingga detik terakhir hayatnya. Makna hidup dilekatkan pada tujuan yang ingin dicapai.

Bahwa obyek pengamatan dan hukum alam, atau disebut juga dengan sunnatullah, yang mengaturnya bersifat tetap. Sedangkan progres perkembangan ilmu pengetahuan berbanding lurus dengan perkembangan persepsi manusia tentangnya. Dalam konteks ini maka proses pembelajaran mengasah potensi spiritual mengawali dan mendominasi ilmu-ilmu keislaman karena yang diharapkan adalah terjadinya aktifitas spiritual. psikis, juga pisik, sehingga proses pencerapan ilmu menjadi optimal. Daripada terus tenggelam dalam kesibukan mengelaborasi obyek-obyek, manusia diajak untuk lebih banyak melakukan evaluasi akan dirinya yang mempersepsikan obyek. Dengan demikian akselerasi progres belajar mengenal dimungkinkan lebih cepat. Bandingkan dengan contoh orang yang diberi ilmu dari kitab sebagaimana yang disebutkan di awal dengan hasil pencapaian yang dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan diskursif.

Obyek selalu saja adalah obyek yang dipersepsikan bukan obyek sebagaimana adanya. Manusia perlu untuk terus memperbaiki persepsinya tentang obyek-obyek. Proses kegiatan ilmiah adalah progres perbaikan persepsi tentang obyek-obyek pengamatan. Dua arah berlangsung simultan secara dialektis, ekstropektif dan instropektif. Progres perpindahan dari sebuah paradigma lama ke paradigma baru, baik secara kumulatif evolutif maupun radikal revolutif, dengan jelas menunjukkan hal tersebut. Jatuh bangun teori-teori tidak lagi dilihat sebagai sebuah perkembangan pengamatan ekstrospektif-induktif terhadap obyek-obyek semata, tetapi juga sebagai sebuah aktifitas introspektif-deduktif atas proses psikis diri pengamat yang refleksikan obyek-obyek.

Dalam konteks ini kata syariat, yang artinya jalan besar, yang mengarah pada tuntutan perbaikan kualitas diri manusia, bisa diartikan sebagai dasar metodologi. Yaitu dimana aspek proses introspektif mendapat porsi yang lebih diutamakan daripada aspek ekstrospektif. Dasar metodologi dalam Islam bukan pada pertanyaan obyek apa yang bisa dilihat tetapi lebih pada bagaimana obyek dilihat.

Karakter obyek dicerap sesuai dengan karakter instrumen pencerapnya. Indera penglihatan akan mencerap tampilan-tampilan visual, telinga menerima stimulus audio, dan seterusnya. Instrumen pencerap dalam diri manusia bersifat konstitutif atas obyek-obyek yang diperuntukkan baginya. Dengan pembelajaran berpolakan partisipatif, faktor afektif diperkenalkan pada nilai-nilai. Sedangkan pola orientatif akan mencerdaskan potensi spiritual, sehingga manusia dapat mengenal arah dari seluruh gerak. Bahwa kemudian proses belajar lebih menekankan penguatan daya cerap intrumen inilah yang dapat dilihat sebagai signifikansi proses percepatan proses pengenalan obyek-obyek bila dibandingkan dengan proses pengenalan yang hanya berlangsung ke luar, yaitu melalui cara ekstrospektif. Di sini penekanan akhlak dan ibadah pada agama mendapatkan arti epistemologisnya, yaitu mempunyai implikasi metodologis terhadap pendekatan atas realitas. Karena akhlak dan ibadah sebagai jalan menuju ke kedekatan pada Allah dapat diartikan sebagai jalan yang harus ditempuh guna menembus lapis-lapis realitas, yang keberadaannya tercipta selain sebagai media, yang dengannya Allah mengajarkan manusia, juga sekaligus sebagai tirai penghalang antara makhluk dan Sang Khalik. Maka ibadah dan akhlak harus dapat dirasakan akibat langsungnya berupa kemajuan kemampuan spiritual dan psikologis tiap orang yang menjalankannya. Atau, kalau tidak, ibadah hanya menjadi kegiatan rutin tanpa dampak apapun? Akibat langsung yang harus tampak adalah kemampuan melihat yang lebih bila dibandingkan dengan orang yang tidak melaksanakannya.

Kemampuan melihat lapis dalam ayat-ayat menjadi bagian terpenting dalam mengasah potensi spiritual. Bahkan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator progres proses belajar karena menjadi syarat bagi dimungkinkannya komunikasi antar ilmuwan. Dalam proses awal belajar, kita sudah dapat membedakan bagaimana hasil yang dicapai oleh penglihatan indera pisik dengan penglihatan rasio. Penglihatan indera pisik terlihat sangat terbatas dan cenderung bias, bila dibandingkan dengan penglihatan rasional. Demikian juga bila perbandingan antara penglihatan rasional dengan penglihatan hati. Hanya saja kemudian bagian ini menjadi asing, bahkan untuk sebagian ilmuwan muslim sekalipun, sehingga oleh sebab ini maka ilmu agama diklaim sebagai semata kepercayaan subyektif yang tidak bisa dikomunikasikan. Sebenarnya penglihatan hati adalah kriteria pokok yang menjadi syarat bagi dimungkinkannya pembelajaran spiritualitas. Tanpa ini, ilmu agama akan menjadi kehilangan artinya.

Tugas Cendekia Muslim
Sains Islam adalah satu bagian dari ilmu-ilmu keislaman yang ciri utamanya adalah koherensi antara ayat: kauniah dan kauliah. Karena dengan mempelajari keduanya sekaligus dalam satu kerangka metodologi, dijamin adanya akses terhadap sunnatullah dan mendapatkan daya herstrukturatifnya. Inilah salah satu arti furqan dari kitab, yaitu sebagai pembeda. Kalau tidak, kitab hanyalah klaim dari manusia sekedar untuk menyatakan kebenaran agama masing-masing. Apakah Al Qur’an juga akan sekedar diklaim sebagai kitab yang berisi kebenaran, sementara ummat Islam kurang mampu menyatakan arti kebenaran tersebut secara konkrit dan ilmiah. Bukankah Al Quran sendiri menantang manusia untuk sebuah ayat, kalau mampu, yang bisa menandinginya?

Penyusunan metodologi menjadi tugas berat yang sudah lama menanti untuk segera dilaksanakan bersama oleh para cendekia muslim. Kalau tidak, kaum muslim selamanya akan tetap memahami ajaran agamanya dalam kerangka keilmuan yang tidak cocok, dan berakibat kesalahpahaman terhadap agamanya sendiri. Dengan landasan epistemologi Islam yang berangkat dari Al Qur’an, tidak dalam pengertian yang semata historis, metodologi yang disusun tersebut akan menjadi rujukan bersama oleh siapapun yang ingin lebih memahaminya. Tidak lagi semata menyandarkan pada otoritas para ahli. Padahal kita menyaksikan bagaimana perpecahan yang sulit disembuhkan akibat tajamnya perbedaan pendapat yang mengutub pada mazhab-mazhab. Inilah tampaknya arti penting dari ajakan Rasulullah untuk mengembalikan semua perkara kepada kitabullah dan sunnah RasulNya.




Pustaka:
1) Hadits riwayat Nu’man bin Basyir
2) Alexis Carrel, “Misteri Manusia”, p. 147-172, Remadja Karya, Bandung, cet. I, 1987

Rabu, 16 Juni 2010

Hidup Memang Harus Mengalir Saja, Yang Pasti Kita Harus Mempunyai Tujuan Yang Jelas Dalam Kehidupan Ini, Keinginan Dalam Hidup Itu Manusiawi, Berharap Dalam Hidup Itu Juga Manusiawi, Tetapi Semua itu Berpulang Kepada Sang Pencipta, Jika Apa Yang Kita Harapkan Dan Inginkan Tercapai Maka Kita Wajib Bersyukur Kepada ALLAH SWT Sang Pencipta Alam Dan Segala Isinya, Tetapi Jika Apa Yang Kita Harapkan Dan Inginkan Tidak Tercapai Atau Tidak Sesuai Dengan Apa Yang Kita Impikan, Maka Disitulah Kesabaran Dan Keihklasan Kita Sedang Di Uji. Sejauh Mana Kita Mampu Bersabar Dan Sejauh Mana Kita Ihklas Dengan Apa Yang Telah Di Tetapkan Oleh Sang Khalik.